Sabtu, 24 Desember 2016

Pukul satu pagi.

1:10 AM

Sejenak ku pejamkan mata, mencoba melepaskan penat pikiranku. Ku hela nafas dalam-dalam lalu ku embuskan.. fiuh~
Tak kunjung lega, tak mampu memejam karna semakin dalam ku pejamkan, bayangannya semakin nyata. Serasa dia bernafas didepanku. Ku bayangkan lagi wajahnya, ku gambarkan lagi bola matanya.

Sial~

Apa yang sebenarnya sudah dia perbuat terhadapku?
Bisa-bisanya dia mengacaukan pikiranku, seperti kantor yang selalu sibuk tengah mengejar deadline. Kepalaku tak pernah sepi, hati ku tak pernah berhenti berdiskusi dalam sepi.


1:30 AM

Beberapa detik diam dan berusaha menjernihkan pikiran, mencoba keluar dari dalam selimut dan meraih segelas air dimeja dekat tempat tidur. Ku teguk berharap kegelisahan sirna mengalir bersamaan dengan air digelas itu. Tapi...

Sial~

Apalagi yang harus ku lakukan?
Andai saja ku punya keberanian untuk mengungkapkan semua yang ku rasakan, mungkin sedikitnya kepalaku akan berhenti berpikir dan hatiku berhenti menggumam.
Andai saja itu mudah, sudah kulakukan saat ini juga.

1:35 AM

Kubuka pesan terakhir darinya, diam.
Tak punya nyali untuk sekedar menyapanya. Lagipula ini lewat dari tengah malam, mungkin jauh disana dia sudah terlelap memimpikan yang lainnya.

Kemudian?
Ku matikan ponsel, mematikan lampu dan menyalakan rindu.


[selamat tidur]

Kamis, 22 Desember 2016

Sungguh, menikmati.

Sudah lama rasanya tak merasakan hal seperti ini, semenjak dipatahkannya (lagi) hatiku rasanya kelu.   Sepertinya akan sulit membuatnya membaik, patah hati yang dia buat adalah yang terberat. Tapi rupanya pikirku salah, pertama kali berjumpa dia mampu membuatku terpana. Dia begitu rupawan, tutur katanya lembut dan belum lagi penampilannya sungguh menarik hati.

Sungguh menyenangkan memiliki perasaan seperti ini lagi, jatuh hati bukan perkara mudah bagi orang yang baru saja patah hati. Patah hati membuatku tak mudah mempercayai hal-hal mengenai cinta, terlebih aku jatuh hati pada orang yang belum lama ku kenal. Bahkan sesungguhnya aku tak mengenalnya dengan baik. Aku hanya berkesempatan menemuinya dua kali, kali pertama kita saling berjabat tangan dan bertukar senyum sambil menyebutkan nama masing-masing. Kali kedua aku berkesempatan menikmati secangkir kopi dan saling bercerita tentang diri masing-masing.

Ach.. mungkin ini terlalu cepat jika kusebut jatuh hati, tapi entahlah semenjak pertemuan itu aku tak mampu melupakan senyumnya. Kepalaku selalu saja menghadirkan cuplikan dirinya yang tengah mengecap secangkir kopi dihandapanku. Oh sungguh, bolehkan aku sebut ini gejala jatuh cinta?

Tapi tunggu.. rasanya tidak mungkin secepat ini, mungkin ini hanyalah rasa kagum saja..
baiklah, aku akui mengangumi sosoknya, dan jujur saja aku jatuh hati pada pribadinya yang hangat dan pemikirannya yang dewasa. Mungkin karna sudah lama tidak menemui orang-orang yang dewasa dalam pemikiran.

Jadi, terserah hatiku saja menamai ini sebagai jatuh cinta atau apa. Tapi aku sungguh menikmatinya.